Newest Post

// Posted by :Kyou // On :Kamis, 18 September 2014




Dengarlah Kami
           
            Seorang gadis kecil bertubuh mungil sedang duduk di bawah pohon rimbun dekat sebuah danau kecil di pinggir hutan. Ia menatap sekelilingnya, namun tiba-tiba saja ia menangis. Seekor kelinci menghampirinya, lalu berkata “Wahai peri, ada apa? Kenapa menangis? Apakah ada sesuatu hal yang membuatmu sedih?”. Gadis kecil yang dipanggil peri itu mengusap air matanya dan tersenyum pada kelinci.
            Tidak apa-apa kelinci.. Hanya saja, ada beberapa hal yang membuatku sedih kelinci..” Jawab sang peri.
             “Apa itu?” Tanya kelinci lagi.
            “Aku, merasa tidak pantas menjadi peri hutan ini, aku tidak bisa menjaganya, aku membiarkan teman-temanku mati. Aku menyaksikan semuanya, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena itulah aku sangat sedih.” Jelas sang peri yang kembali merenung. Sang kelinci merasa iba, bagaimanapun itu bukanlah salahnya, ia telah melakukan tugasnya dengan baik. Adapun yang pantas disalahkan adalah mereka manusia-manusia serakah yang tak pernah puas dengan apa yang mereka miliki. Belum sempat kelinci berbicara, sang peri terlihat terkejut dan beranjak dari duduknya.
            “Apa kau mendengarnya, kelinci?” Tanya sang peri. Kelinci itu mengangguk tanda ia mendengar apa yang sang peri dengar.
“Cepat! Kita harus menolong pohon itu!” Seru sang peri yang kemudian berubah menjadi peri kecil yang bersayap. Ia terbang diantara pepohonan ditemani sang kelinci yang berlari di bawahnya.
            Mereka semakin dekat dengan suara mesin yang memekikkan telinga, siap menebang sebuah pohon. “Itu dia!” Sang peri kembali berubah menjadi gadis kecil dan berlari menghampiri mereka bersama sang kelinci.
            “Hentikan!” Teriaknya membuat para penebang menghentikan aksinya dan menatap gadis kecil itu dengan tatapan keheranan.
            “Apa yang kau lakukan di hutan seperti ini, gadis kecil?” Tanya salah seorang pria paruh baya yang pada detik sebelumnya hendak menebang pohon yang terlihat masih muda.
            Dengan nafas terengal-engal, sang peri mencoba berbicara. “Tuan-tuan, tolong hentikan. Jangan tebang pohon ini, ia masih muda. Apa kalian tidak kasihan?”
            “Hei gadis kecil, ini bukan urusanmu. Ini adalah pekerjaan kami. Sana pergi! Lagipula anak kecil tidak boleh berada di hutan. Pergilah! Disini berbahaya. Jangan ganggu kami!” Ucap pria lainnya. Mereka hendak menghidupkan mesin untuk menebang sang pohon, namun mereka kembali berhenti mendengar perkataan sang peri.
            “Tuan! Tidakkah kalian mendengar tangisan pohon ini? Ia menjerit, memohon untuk tidak menebangnya!” Para penebang kayu itu saling menatap heran kemudian tertawa terbahak-bahak. Mana ada pohon bisa bicara, yang benar saja. Sang peri kelihatan sangat kesal.
            “Diamlah! Mungkin ini terdengar kurang masuk akal. Tapi itu adalah sebuah kebenaran! Tidak bisakah kalian mendengarnya? Dengarlah.. Dia menangis, memohon pertolongan.. Dengarlah dengan hati kalian wahai Tuan-tuan.” Sang peri mulai berlinang air mata. Lalu melanjutkan ucapannya. “Dia meminta untuk dibiarkan hidup kali ini saja. Hari ini saja. Dia masih ingin merasakan hangatnya mentari pagi, panas yang senantiasa membantunya menghasilkan makanan, hembusan angin yang menggoyangkan dahan-dahannya dan membuat dedaunannya jatuh, air hujan yang selalu membuatnya semakin tumbuh, suara air terjun yang bergemuruh setiap saat tanpa lelah, burung yang masih dengan setianya berkicau merdu di dahannya setiap pagi, bahkan keindahan langit malam yang dipenuhi ribuan bintang. Ia masih ingin menikmatinya, ia masih belum cukup bersyukur pada Tuhannya. Ia ingin diberikan satu hari saja untuk merasakan semua kenikmatan itu. Aku mohon.. Tuan.. Dengarlah, dengarlah suaranya yang memilukan itu.”
            Pria paruh baya yang siap menebang itu terlihat tertegun dengan ucapan sang peri, berbeda dengan kedua temannya yang bersikeras ingin menebangnya.
            “Hei gadis kecil! Kami tidak bisa mendengarnya, jadi biarkan kami mencari nafkah untuk keluarga kami. Kau tidak mengerti apa-apa.”
            “Anda yang tidak mengerti Tuan! Apakah anda tidak memiliki hati nurani? Pakailah hati anda untuk mendengar suaranya. Mereka menangis, menjerit, meronta penuh kesakitan saat kalian menebangnya, bahkan tak sedikit dari mereka yang mengutuk kalian para manusia serakah. Apakah Tuan tidak sadar? Orang-orang seperti Tuanlah yang menyebabkan bumi mendapat banyak bencana! Manusia yang tak perduli pada alam, memusnahkan mereka tanpa ampun! Tidak bisakah tuan mencari pekerjaan lain dengan tidak menyakiti teman-temanku!? Kalian sendiri yang akan merasakan kerugiannya. Ia hanya meminta satu hari saja.. Hanya satu hari..” Ucap sang peri melemah. “Baiklah. Satu hari saja. Besok kami akan kembali untuk menebangnya.” Ucap seorang pria yang sedari tadi terdiam mendengarkan perkataan sang peri. Kedua temannya siap beradu argumen lagi, namun ia mencegahnya dan mengajaknya pergi.
            Sang peri terduduk lemas di hadapan pohon yang ia selamatkan, entah ia harus sedih atau senang.
            “Peri, terimakasih karena kau telah menyelamatkan nyawaku. Sungguh kau peri yang sangat baik” Puji sang pohon penuh syukur.
            “Maafkan aku pohon. Aku hanya bisa mencegah mereka untuk satu hari. Maaf aku tak bisa menyelamatkan nyawamu..” Sang peri kembali tersedu-sedu merasa bersalah.
            “Peri, kau sudah melakukan yang terbaik! Kau sangat hebat!” Puji sang kelinci. Sang peri pun berterimakasih lalu tersenyum.
            “Tidurlah disini, temani aku sampai besok, aku terlalu takut.” Pinta sang pohon. Dengan senang hati, sang peri dan kelinci sahabatnya menemaninya sampai mereka tertidur ketika hari sudah gelap. Saat itulah terdengar tangisan sang pohon ditengah keheningan malam.
            “Tuhan, besok aku akan mati. Ampuni aku jika aku kurang bersyukur atas segala nikmat-Mu. Sungguh, aku masih ingin menikmatinya. Tapi manusia dibumi ini terlalu serakah. Mereka bahkan tidak memilih untuk menebang. Sebenarnya aku menyukai seseorang. Aku ingin berada disampingnya hingga tua nanti. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Aku akan menemui hari terakhirku besok, aku cukup puas dengan nikmat yang Kau berikan hari ini. Aku sangat bersyukur masih diberi kesempatan lewat pertolongan-Mu melalui gadis kecil itu. Terimaksih Tuhan.. Harapan terakhirku, semoga para manusia serakah bisa mendengar jerit tangis kami, agar mereka mengerti. Dengarlah kami, wahai manusia..”
            Makhluk lain yang mendengarnya merasa sangat kasihan padanya. Mereka tahu, hari itu juga akan datang pada mereka. Ia beruntung karena diberi kesempatan selama satu hari. Biasanya manusia akan menebangnya tanpa perhitungan.
***
            Matahari pagi membuat seluruh makhluk di bumi terbangun oleh sinarnya yang memancarkan kehangatan. Begitupula sang pohon, peri, dan sang kelinci. Mereka saling menyapa satu sama lain. Lalu terlihatlah sesosok pria paruh baya yang kemarin hendak menebang pohon itu.
            “Tuan, apakah kau sangat ingin menebangnya hingga kau datang sepagi ini? Dimana kedua teman anda?” Tanya sang peri. Tuan itu menggeleng pelan sambil tersenyum penuh arti lalu mensejajarkan tubuhnya dengan sang peri, dan berkata dengan lembut. “Hari ini, aku tidak datang untuk itu, pohon ini terlalu muda untuk kami tebang. Bukankah begitu, peri hutan?” Sang peri terkejut karena identitasnya ketahuan.
            “Tenanglah, berkatmu sekarang aku mengerti apa yang kau katakan kemarin sore. Kami memutuskan untuk tidak menebang pohon sembarangan lagi, dan bahkan aku akan mengganti pekerjaanku. Selamat, kau telah menyadarkan manusia serakah itu.” Ucap sang tuan di sambut dengan wajah bahagia dari sang peri.
            “Benarkah?” Penebang itu mengangguk meyakinkannya.
            “Sekarang aku bisa mendengar suara mereka, dengan hati ini.” Ucapnya memegang dadanya
            “Terimakasih tuan!” Seru sang peri menghambur pelukan pria paruh baya itu dengan perasaan gembira.
            “Terimakasih tuan, masih membiarkanku hidup. Meskipun, seandainya jika Tuan menebangku hari ini, aku sudah siap. Karena pada akhirnya akan ada manusia lain yang mencoba membunuhku. Aku lebih suka jika orang sepertimu yang menebangku.” Ucap sang pohon.
            “Aku tidak akan membiarkan hal itu. Mulai sekarang, akulah yang akan menjaga hutan ini. Menemani sang peri kecil berhati seputih salju”. Ucap sang penebang pada akhirnya, membuahkan senyuman bagi yang mendengarnya.
            “Manusia tidak akan pernah merasa puas dengan yang dimilikinya, jika mereka mendapatkan sesuatu, mereka akan meminta lebih. Kami berharap mereka bisa mendengar kami. Membuat mereka sadar atas perilaku mereka. Selama ini, kami menderita.”


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

// Copyright © Starlight //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //